Isu Penculikan Aktivis, Risiko Politik Prabowo Jelang Pilpres
Jakarta - Isu dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1998 seperti tertulis di dokumen National Security Archive (NSA) dinilai sebagai konsekuensi politik. Selama masih berkarier politik, khususnya ketika Ketua Umum Partai Gerindra itu maju sebagai calon presiden, kejadian tersebut diyakini bakal terus berulang menjelang gelaran Pilpres.
Dekat Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Erwan Agus Purwanto mengibaratkan isu keterlibatan Prabowo dalam peristiwa '98' seperti flyer yang kerap muncul dalan momen-momen tertentu. Menurutnya hal ini wajar saja mengingat hampir semua figur politik akan dikuntit masa lalunya.
"Ini PR yang berulang lima tahun sekali setiap beliau mencalonkan diri sebagai presiden. Ini konsekuensinya, mau enggak mau harus direspons," kata Erwan, Jumat (27/7).
Erwan menilai isu ini belum pernah benar-benar dijabarkan duduk perkaranya secara hukum. Selain itu, meski nanti kubu Prabowo sudah menjelaskannya pun akan ada pertentangan dari berbagai versi penuturan seperti dari BJ Habibie atau Wiranto yang berada di lingkaran utama peristiwa '98'.
Jika isu dibiarkan melenggang bebas, Erwan melanjutkan, sedikit banyak elektabilitas Prabowo akan terpengaruh. Pembelaan dari kader Gerindra pun menurutnya tak cukup. Itu pun belum menghitung peran media sosial yang bisa mengamplifikasi kabar yang belum tentu benar sepenuhnya.
Karena itu, Prabowo harus berhati-hati terhadap isu yang terus diproduksi berulang yang bukan tak mungkin membuat masyarakat makin mempercayainya sebagai kebenaran. Di sini, kata dia, Prabowo harus bisa menjelaskan secara gamblang dan tuntas ihwal peristiwa 98.
"Kemudian kita bicara post-truth society walaupun belum benar 100 persen, tapi kalau berulang-ulang masyarakat bisa mempercayainya. Ini yang harus hati-hati oleh Pak Prabow, beliau harus menjelaskan secara gamblang, tuntas, soal peristiwa '98,' terang Erwan.
Dokumen yang dirilis oleh National Security Archive. The George Washington University, bertanggal 7 Mei 1998 dibuka ke publik. Isi dokumen itu memuat percakapan antara staf Kedubes AS dengan seorang 'pemimpin organisasi mahasiswa' yang membahas soal hilangnya sejumlah aktivis di penghujung masa jabatan Presiden Soeharto.
"Dia berkata bahwa sumbernya (bukan bagian Grup Empat) mengatakan ada konflik di antara divisi-divisi di Kopassus, dan bahwa Grup Empat secara efektif masih di bawah kendali Prabowo. Hilangnya (para aktivis) diperintahkan oleh Prabowo yang mengikuti perintah Presiden Soeharto," dokumen itu menyatakan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membantah keterangan dalam dokumen itu. Sufmi menilai keterangan dalam dokumen itu lemah dan bersifat asumsi belaka.
"Kesaksian tersebut bukan hanya bersifat 'testimonium di auditu' (kesaksian katanya), tetapi juga tidak memiliki relevansi karena tidak didukung secuil pun keterangan saksi lain," kata Sufmi.
Ia memandang dokumen ini lebih menyerupai dokumen intelijen ketimbang dokumen hukum. Tak lupa, Sufmi berkata bahwa tak ada nama Prabowo dalam putusan Mahkamah Militer Agung tentang kasus penculikan sembilan aktivis pro demokrasi diputus 24 Oktober 2000.
No comments